Founder Aruna & Kitabisa Berbagi Pengalaman Saat Kembangkan Start Up
JAKARTA - Indonesia menjadi salah satu negara dengan startup terbanyak di Asia Tenggara dan kini memiliki lebih dari 2.300 startup digital, lima belas di antaranya telah mendapatkan peringkat unicorn. Pada tahun 2022, lebih dari 200 startup Indonesia akan mendapatkan dana investasi minimal satu juta dolar AS. Kemunculan startup ini menyebar dan menyebar ke luar Jabodetabek, seperti di Malang, Bandung, Yogyakarta, Makassar, dan Denpasar. Jumlah startup baru meningkat setiap hari. Untuk membantu para pendiri dalam pembentukan awal dan pertumbuhan startup, Kementerian Komunikasi dan Informatika secara rutin menyelenggarakan program Startup Studio Indonesia (SSI) dua kali setahun. Inisiatif ini bertujuan untuk melatih secara intensif startup digital tahap awal di Indonesia untuk mencapai Product Market Fit (PMF) yang optimal.
Startup tahap awal yang terpilih dalam program Charge 6 SSI dapat mengikuti Founders Camp dan pelatihan one-on-one dengan praktisi startup ternama dan berpengalaman di bidangnya. Dua di antaranya adalah co-founder dan CEO Kitabisa Alfatih Timur dan pendiri dan CSO (Chief Sustainability Officer) Aruna, Utari Octavianty.
Baca Juga : Taktik CEO Grab & Disrupsi AI yg makin mengkhawatirkan
Kitabisa adalah salah satu platform crowdfunding yang paling banyak digunakan di Indonesia. Startup ini tidak hanya berperan penting dalam memperkenalkan budaya crowdfunding, tetapi juga berperan penting dalam membantu masyarakat dalam situasi krisis, misalnya dengan mengumpulkan dana untuk bencana alam atau obat-obatan. Pada saat yang sama, Aruna merupakan perusahaan perikanan terintegrasi terbesar di Indonesia, berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan petani lokal dan mengutamakan kelestarian ekosistem laut.
Selama perjalanan konstruksi Aruna, Utari menekankan pentingnya riset pasar yang menyeluruh dan mendalam oleh para pendiri untuk memastikan bahwa produk/jasa yang ditawarkan sesuai dengan kebutuhan target audiens. Selain itu, para pendiri harus mampu mengelola sumber daya mereka dan fokus tidak hanya pada pengembalian jangka pendek, tetapi juga pada dampak jangka panjang dari fokus yang ingin mereka prioritaskan. Sebagai ujung tombak perusahaan startup, founder juga harus memiliki kemampuan beradaptasi dengan kebutuhan pasar dan perubahan yang dinamis. Sejak awal perjalanan Aruna, Utari bersama Farid Naufal Aslam (CEO) dan Indraka Fadhlillah (COO) mengikuti prinsip tersebut dan melakukan berbagai kegiatan untuk menyempurnakannya. “Kami melihat potensi perikanan Indonesia dapat ditingkatkan melalui teknologi, dengan Aruna menghubungkan nelayan ke pasar global sehingga tangkapan mereka menjangkau pasar yang lebih luas. Saya fokus pada keberlanjutan bisnis yang melibatkan masyarakat dan masyarakat pesisir. Indraka fokus pada operasional sedangkan Farid mengelola itu.” “Kami menjalankan bisnis kami dan memastikan semua proses bisnis di Aruna berjalan dengan baik,” ujarnya. Founder tidak hanya harus memahami kebutuhan pasar, tetapi juga merancang Minimum Viable Product (MVP) di tahap awal. Menurut Utari, dengan adanya MVP, para founder mendapatkan feedback dari pengguna mengenai produk/jasa yang ditawarkan, yang dapat dijadikan acuan untuk memfinalisasi produk sebelum peluncuran final. Seperti halnya Utari, Alfatih selaku CEO Kitabisa menyarankan para pendiri di tahap awal untuk fokus pada pengembangan fitur inti. “Kami perlu memastikan bahwa layanan inti kami kuat dan memenuhi kebutuhan pengguna. Setelah itu, hanya dapat berkembang perlahan karena perubahan pasar. Terlalu banyak fitur di tahap awal dapat membuat tim kewalahan karena fokus terbagi pada banyak hal ," kata Alfatih. .
temukan artikel menarik lainnnya di seleksa.id
Sumber
https://teknologi.bisnis.com/read/20230621/266/1667834/pendiri-kitabisa-dan-aruna-berbagi-pengalaman-kembangkan-startup